Senin, 06 April 2015

HUTAN RAKYAT DAN PEMASARANNYA STUDI KASUS DI DESA KALIJAYA KABUPATEN CIAMIS

Oleh : Suyarno

  
I.Pendahuluan
Perkembangan hutan rakyat pada saat ini sudah menjadi salah satu komoditi unggulan di Jawa Barat pada umumnya dan khususnya di Kabupaten Ciamis. Keberadaan hutan rakyat di Jawa Barat mempunyai peranan penting baik dari segi pemenuhan kebutuhan kayu maupun penutupan lahannya. Kebutuhan kayu di Jawa Barat sebesar 5,3 juta m3/th disuplay dari produksi kayu yang berasal dari kawasan hutan produksi 350.000 m3/th dan dari hutan rakyat sebesar 3 juta m3/th dan rencana jangka panjang penutupan lahan di Jawa Barat sebesar 45% tidak terlepas dari perkembangan hutan rakyat (Suherman M. 2009).
Produksi kayu dari hutan rakyat di Jawa Barat potensinya tersebar di seluruh hutan rakyat di wilayah kabupaten. Berdasarkan data dari Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat tahun 2006 menempatkan Kabupaten Ciamis sebagai urutan pertama produksi hutan rakyatnya dari 18 kota/kabupaten di Jawa Barat dengan produksi sebesar 447.320 m3/th (Achmad B. 2008).
Hutan rakyat di Kabupaten Ciamis keberadaannya semakin penting mengingat tingkat kebutuhan kayu yang terus meningkat sedangkan kayu yang dihasilkan dari hutan produksi sangat terbatas sehingga menempatkan hutan rakyat sebagai andalan dalam pemenuhan kebutuhan kayu. Peningkatan tingkat kebutuhan kayu di kabupaten Ciamis juga telah diimbangi dengan terus meningkatnya produksi kayu khususnya dari hutan rakyat. Achmad B. (2009) melaporkan bahwa produksi kayu rakyat meningkat terus menerus dari tahun ketahun hingga menembus lebih dari 80% dari total kayu yang dihasilkan oleh Kabupaten Ciamis. Data terakhir dari Dinas Kehutanan Kabupaten Ciamis melaporkan bahwa produksi hutan rakyat di Kabupaten Ciamis pada tahun 2011 sebesar 369.124,305 m3 untuk albasia, 56.576,312 m3 untuk mahoni, dan produksi jati sebesar 19.561,510 m3. Produksi kayu terebut jauh lebih besar dari produksi kayu dari kawasan hutan di Kab. Ciamis yaitu hanya sebesar 53,13 m3 untuk albasia, 3.807,22 untuk mahoni dan 29.495,22 m3 untuk kayu Jati (Badan Pusat Statistik. 2011).
Produksi albasia dari hutan rakyat sebesar 369.124,305 m3 dihasilkan dari luas hutan rakyat 31.744,44 ha,  yang tersebar diseluruh wilayah administrasi di Kab Ciamis, dengan pola tanam yang sangat beragam di masing masing wilayah administrasi desa. Potensi hutan rakyat yang tersebar di seluruh desa juga mempengaruhi potensi dan pelaku pasar baik mulai tingkat ranting, bandar, penggergajian maupun kayu olahan lainnya sudah tersedia di tingkat desa.
Dukungan pasar dan potensi hutan rakyat yang tinggi di tiap desa mempengaruhi dan memunculkan system pemasaran hutan rakyat yang spesifik dan berbeda antara desa satu dengan desa yang lain. Desa Kalijaya Kecamatan Banjarsari Kab Ciamis merupakan salah satu contoh desa yang mempunyai banyak cara atau system pemasaran hutan rakyat.

II. Hutan Rakyat di Desa Kalijaya
Potensi hutan rakyat merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi system pemasaran hutan rakyat di suatu wilayah disamping faktor sumber daya manusia dan pasar di wilayah tersebut.  Hutan rakyat sebagai obyek pemasaran sudah dibudidayakan oleh petani di Desa Kalijaya sejak dulu dan bersifat turun menurun. Berdasarkan hasil wawancara diperoleh data bahwa secara umum petani membudidayakan hutan rakyat melanjutkan pola yang sudah ada sejak dahulu dengan penyempurnaan baik pemilihan jenis tanaman untuk tanaman pokok mapun pengisi dan  kegiatan pemeliharaan.
Budidaya hutan rakyat di Desa Kalijaya Kab Ciamis dalam perkembanngannya tidak bisa dilepaskan dari perkembangan budidaya hutan rakyat di Jawa Barat. Jawa Barat menjadi tempat penyelenggaraan pekan penghijauan yang pertama pada tahun 1961, dan penghijauan dengan penanaman tanaman kayu terus berkembang dengan adanya program ‘RAKGANTANG” (Gerakan Gandrung Tatangkalan) pada tahun 1974, dan kemudian Departemen Kehutanan telah menyelenggarakan program sengonisasi yang dimulai pada tahun 1990 (Djajapertjunda S. 2003).
Budidaya hutan rakyat di Desa Kalijaya dalam perkembangnnya pada saat sekarang menempatkan sengon/albasia menjadi pilihan utama. Berdasarkan hasil survey di lapangan menyatakan bahwa faktor pertumbuhan yang cepat dan pemasaran yang sangat gampang sebagai alasan bahwa secara umum petani hutan rakyat di Desa Kalijaya memilih albasia sebagai tanaman pokok dalam budidaya hutan rakyatnya. Achmad B. (2009) melaporkan bahwa hutan rakyat dengan jenis sengon/albasia merupakan jenis kayu terbesar  yang dihasilkan dari hutan rakyat mengisi hampir 50% kayu rakyat di Kabupaten Ciamis. Pilihan petani terhadap tanaman albasia karena beberapa faktor yang menjadi kelebihan tanaman ini.  Sengon merupakan salah satu jenis pohon yang pertumbuhannya sangat cepat, Pertumbuhan selama 25 tahun dapat mencapai tinggi 45 m dengan diameter batang mencapai 100 cm. Mengingat pertumbuhan yang cepat sengon dijuluki sebagaai pohon ajaib (the miracle tree) Pada umur 6 tahun sengon sudah dapat menghasilkan kayu bulat sebanyak 372 m3/ha. (Atmosuseno B.S. 1994).
Berdasarkan hasil survey dan pengamatan di lapangan petani di Desa Kalijaya secara umum membudidayakan hutan rakyat dibagi kedalam 2 pola budidayanya yaitu hutan rakyat monokultur dan hutan rakyat campuran. Menurut Windawati (2000) dalam Diniyati D (2010) pola tanam yang dikembangkan oleh petani dapat diklasifikasi pada 2 pola yaitu
1.      Hutan rakyat monokultur (murni)
Hutan rakyat yang terdiri dari satu jenis tanaman pokok yang ditanam dan diusahakan secara homogeny (Monokultur)
2.      Hutan rakyat campuran
a.      Hutan rakyat campuran dengan 2 – 5 jenis tanaman kehutanan yang dikembangkan dan diusahakan seperti sengon, mahoni dan suren yang dikombinasikan berbeda pada setiap daerah.
b.      Hutan rakyat campuran dengan system agroforestry/wanatani
Pola ini  merupakan bentuk usaha kombinasi kehutanan dengan cabang usaha lainnya seperti pekebunan, pertanian, peternakan dan lainnya secara terpadu.
Budidaya hutan rakyat di Desa kalijaya pada umumnya menerapkan pola monokultur pada lahan PHBM di pola campuran dilaksanakan di lahan milik.
Diniyati D. (2010) melaporkan bahwa lahan yang diperuntukan untuk hutan rakyat di Desa kalijaya paling luas dibandingkan dengan luas lahan untuk peruntukan lainnya. Penggunaan lahan di Desa Kalijaya disajikan dalam tabel berikut;
Tabel 1 : Penggunaan Lahan di Desa Kalijaya
No
Penggunaan Lahan
Luas (ha)
% dari luas wilayah
1.
Hutan Rakyat
12.420
53
2.
Sawah
1.617
7
3.
Pekarangan dan Rumah
725
3
4.
Kolan ikan
141
1
5.
Lainnya
8.365
36

Luas hutan rakyat di Desa Kalijaya sebagaimana pada tabel tersebut selain ditopang dari berbagai program pemerintah, pada saat sekarang berdasarkan hasil wawancara bahwa petani sudah sadar akan hasil dari tanaman kayu terutama sengon sehingga untuk kegiatan penanaman petani sudah membeli bibit tanaman secara swadaya.
Tingkat kesadaran petani yang tinggi akan hasil dari hutan rakyat baik dari lahan milik maupun PHBM memposisikan hutan rakyat sebagai andalan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga petani. Kondisi tersebut ditunjang juga dari aspek pemasaran kayu rakyat yang tidak susah karena banyaknya Bandar pembeli kayu rakyat di Desa Kalijaya.

III. Pemasaran Hutan Rakyat di Desa Kalijaya
Pemasaran adalah semua usaha yang mencakup kegiatan arus barang dan jasa, mulai dari titik produksi sampai ketangan konsumen akhir (Achmad B. 2009). Hutan rakyat mempunyai kekhusunan  dalam proses pemasarannya jika dibandingkan dengan produk produk lain. Kekhususan pemasaran hutan rakyat terletak pada system penjualannya yaitu bisa dalam bentuk tegakan berdiri maupun dalam bentuk log baik sudah dipinggir jalan maupun dipenggergajian. Sistem penjualan tersebut merupakan beberapa kemudahan dalam penjualan hasil hutan rakyat meskipun masih banyak permasalahan dalam pemasaran yang dihadapi petani hutan rakyat. Beberapa permasalahan dalam pemasaran komoditas pertanian termasuk kayu bulat adalah : (1) dihasilkan oleh petani dalam unit kecil kecil, (2) produksi tergantung pada musim, pola biologi, dan kebutuhan sosial ekonomi produsen, (3) petani lebih banyak bertindak sebagai pengambil harga, (4) kayu bulat merupakan produk yang tidak dapat dikonsumsi secara langsung atau sulit melakukan penjualan langsung ke konsumen akhir, (5) produk bersifat ruah atau memakan tempat, (6) untuk jenis-jenis tertentu produk hanya bisa dijual ke industry pengolahan yang tertentu  pula (Hardjanto, 2003 dalam Achmad B. 2009).
Berbagai permasalahan tersebut tidak menjadi kendala yang terlalu berarti untuk pemasaran hutan rakyat di Desa Kalijaya. Potensi kayu yang besar baik dari lahan milik maupun PHBM,  sumber daya manusia petani yang sudah mengetahui tentang pengetahuan volume kayu serta harga pasaran kayu, pengalaman petani dalam budidaya hutan rakyat serta banyaknya bandar di Desa Kalijaya  sehingga pemasaran kayu dari hutan rakyat berjalan lancar dan banyak macamnya system penjualan hutan rakyat di Desa Kalijaya. Berdasarkan hasil wawancara diperoleh data mengenai berbagai pola system penjualan hutan rakyat di Desa Kalijaya, yaitu :

1.Sistem Borongan
Pemasaran hutan rakyat dengan system borongan yaitu system penjualan dengan menjual semua potensi kayu dalam bentuk kayu berdiri yang ada di kebun ke bandar. Potensi kayu yang dijual bisa hanya dipilih yang besar saja atau semua kayu yang ada di kebun. System penjualan borongan biasanya dilaksanakan dengan terlebih dahulu ada kegiatan tawar menawar antara petani pemilik dengan Bandar. Kegiatan penebangan dilaksanakan jika kesepakatan kedua belah pihak sudah terlaksana. System penjualan ini lebih praktis di tingkat petani pemilik kayu karena tidak petani tidak mengeluarkan biaya sekicil apapun berkaitan kegiatan penabangan maupun pengangkutan kayu.
Dari hasil studi terhadap cara pemasaran kayu yang biasa dilakukan oleh petani di Jawa Barat menunjukkan bahwa cara pemasaran kayu yang paling banyak dilakukan oleh petani yaitu menjual pohon yang masih berdiri yaitu sebesar 31% dari total cara pemasaran kayu (Achmad B. dkk. 2009).

2.Sistem Ijon 
Pemasaran kayu dari hutan rakyat dengan system ijon yaitu system penjualan kayu dengan jangka waktu, penjualan kayu dilaksanakan pada saat sekarang (umur 2 atau 3 tahun) ditebang 1 sampai 3 tahun kemudian. Sistem penjualan ijon dilaksanakan di Desa Kalijaya dengan dokumen pendukung berupa kwitansi dan perjanjian secara lisan.
Secara sepintas dari aspek ekonomi sangat merugikan bagi petani penggunaan system ijon ini, tetapi petani hutan rakyat di Desa Kalijaya dengan pengalamannya yang sudah lama dalam budidaya hutan rakyat maka pada saat transaksi jual beli petani sudah mempertimbangkan nilai kayu pada saat akan ditebang nanti. Nilai kayu dari hutan rakyat ini pendekatannya dengan membandingkan petani lain disekitarnya yang sudah melaksanakan penjualan kayu atau pendekatannya dengan memperkirakan volume kayu pada saat 2 atau 3 tahun yang akan datang dari aspek pertumbuhannya kayunya.
Sistem ijon menjadi pilihan bagi petani di Desa Kalijaya karena disebabkan oleh beberapa hal yaitu;
-          Petani dihadapkan pada kebutuhan untuk membeli sesuatu dalam nilai yang besar seperti membeli mobil/motor, untuk bikin atau rehab rumah. Kebutuhan ini tidak akan tercukupi jika penjualan dilaksanakan pada saat itu dengan potensi kayu yang ada pada saat itu.
-          Penjualan kayu untuk membeli sawah atau kebun. Aset tanah merupakan hal yang sangat berarti dan merupakan hal yang langka sehingga pada saat ada penjualan tanah baik kebun mapun sawah petani di Desa Kalijaya akan memaksanakan dirinya untuk membeli sehingga akan menjual aset yang dimilikinya salah satunya dari penjualan kayu. Penjualan kayu dengan potensi yang ada tidak akan mencukupi sehingga petani berani melaksanakan system ijon dengan jangka waktu 2 sampai 3 tahun yang akan baru dilaksanakan penebangannya karena petani pada saat akad jual beli sudah mempertimbangkan nilai tegakan pada saat 2-3 tahun yang akan datang sehingga mencukupi untuk pembelian tanah.

3.Sistem Bukti
Pemasaran kayu rakyat dengan system bukti adalah system jual beli kayu yang didasarkan pada volume kubikasi pada saat transaksi antara petani penjual dengan Bandar sebagai pembeli. Sistem penjualan dengan bukti dilaksanakan di Desa Kalijaya karena tidak adanya kesepakatan antara petani penjual dengan bandar pada saat transaksi jual beli dengan system borongan. Petani dengan keinginannya yang tinggi sedangkan Bandar tidak menyanggupinya sehingga sebagai jalan tengah dipergunakan system bukti dengan volume kubikasi dari kayu yang akan dijual sebagai dasar penentuan harga penjualan kayu. Sistem bukti dalam penjualan kayu di Desa Kalijaya dalam pelaksanaannya petani penjual harus mengeluarkan biaya sendiri untuk kegiatan penebangan dan pengangkutannya.

4.Sistem Cas bon (Hutan Rakyat Sebagai Jaminan)
Sistem casbon/jaminan merupakan system penjualan kayu yang relatif spesifik jika dibandingkan dengan system pemasaran hutan rakyat pada umumnya. Sistem jaminan ini terjadi karena petani dihadapkan pada kebutuhan yang mendadak sehingga menjaminkan hutan rakyatnya kepada Bandar sebanyak nilai uang yang diperlukan.
Dalam penjualan dengan system casbon/jaminan pada saat transaksi/meminjam uang ke Bandar ada beberapa kesepakatan yang menjadi perjanjian antara petani dengan Bandar diantaranya yaitu;
-          Perjanjian mengenai kapan akan dilaksanakan kegiatan penebangannya
-          Jumlah tanaman yang ditebang senilai uang yang dipinjam, perjanjian ini dalam pelaksanaannya sudah menjadi kesadaran kedua belah pihak baik penjual (petani) maupun pembeli (Bandar). Pada saat awal perjanjian jual beli biasanya petani menjaminkan kayunya dalam satuan kebun atau satuan batang, dengan kesadaran kedua belah pihak maka pada saat pelaksanaan penebangan jika terjadi kelebihan yang signifikan akan dikembalikan ke penjual. Pembeli/Bandar memperoleh keuntungan dari selesih nilai harga perkubik kayu hasil penebangan.
Sistem penjualan hutan rakyat casbon/jaminan dengan beberapa perjanjian dan komitmen tersebut diatas bisa dilaksanakan di Desa Kalijaya karena faktor sumber daya petani yang sudah mengetahui beberapa hal berkaitan dengan penjualan kayu yaitu ;
-          Petani di Desa Kalijaya secara umum sudah mengetahui standar biaya chainsow/m3 untuk kegiatan penebangan.
-          Petani mengetahui standar biaya pikul/m3 dalam kegiatan pengangkutan.
-          Petani mengetahui dan memahami standar harga kayu per m3.
Tiga faktor tersebut yang menyebabkan system penjualan kayu casbon/jaminan bisa dilaksanakan karena perkiraan antara nilai casbon tidak agak jauh berbeda dengan nilai hutan rakyat sebagai jaminan.
Disamping hal tersebut system casbon bisa berjalan karena ditunjang beberapa hal yaitu;
-          Faktor pembeli.
Keberadaan bandar di Desa Kalijaya sangat kompetitif. Dari hasil wawaancara jumlah bandar yang ada di Desa Kalijaya rata rata dalam satu RT bisa 2 orang dan bahkan dalam 1 dusun bisa sampai 10 orang Bandar.
-          Faktor permintaan dan suplay kayu.
Tingginya tingkat permintaan kayu yang tidak diimbangi dengan produksi kayu serta waktu penjualan kayu yang tidak menentu sehingga persaingan antar Bandar sangat kompetitif dalam mancari kayu.


IV. Penutup
Keberadaan hutan rakyat pada saat sekarang sudah menjadi komoditi yang sangat penting dalam pemenuhan kebutuhan kayu. Tingkat kebutuhan kayu yang tinggi menjadi salah satu faktor hutan rakyat terus berkembang baik didukung dengan program pemerintah maupun secara swadaya. Secara swadaya petani sudah melaksanakan dan memaksakan  pembelian bibit dengan menyisihkan kebutuhan lainnya karena hasil hutan rakyat yang menjanjikan dan sudah dirasakan hasilnya oleh petani hutan rakyat.
Berkembangnya hutan rakyat diberbagai pelosok desa baik dengan pola monokultur maupun campuran tidak terlepas juga dari faktor budidayanya yang gampang dan pemasarannya yang sangat mudah terutama untuk tanaman albasia.
Hutan rakyat dengan berbagai kelebihan dan masih banyak permasalahan/kendalanya di lapangan pada saat sekarang sudah menjadi komoditi unggulan dalam pemenuhan kebutuhan keluarga baik kebutuhan pokok maupun kebutuhan lainnya. Berbagai kebutuhan petani tersebut dapat dipenuhi dari hasil penjualan dan pemasarannya kayu rakyat, sehingga hutan rakyat dapat diposisikan sebagai tabungan setiap saat bisa dijual dan menghasilkan uang maupun sebagai aset untuk dijaminkan pada saat ada kebutuhan tertentu. Hutan rakyat sebagai aset jaminan dalam penjualan dengan system casbon sudah berjalan di Desa Kalijaya merupakan salah satu dari berbagai system pemasaran hutan rakyat yang sudah berjalan selama ini. Hutan rakyat sebagai aset jaminan meskipun masih  sebatas bersifat perorangan antara petani penjual dan Bandar sebagai pembeli dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk berkembangnya system pemasaran hutan ke skala yang lebih besar seperti berdirinya koperasi atau bahkan bisa dijadikan sebagai anggunan dalam proses kredit lainnya ke lembaga keuangan yang lebih besar (contoh BRI). Berkembangnya pemasaran hutan rakyat ke skala yang lebih besar dengan menyentuh lembaga keuangan lain, harus dipikirkan dan didukung oleh semua stake holder yang bergerak dibidang hutan dan kehutanan dengan mengutamakan kepentingan petani hutan rakyat sebagai dasar pinjakannya. Ini bukan sesuatu yang tidak mungkin karena hutan rakyat sebagai aset jaminan dalam system pemasaran casbon sudah berjalan di Desa Kalijaya dalam pemasaran hutan rakyatnya.
 


Daftar Pustaka
1.       Atmosuseno B.S. 1994. Budidaya, Kegunaan dan Prospek Sengon. Penebar Swadaya. Bogor.

2.      Achmad B., Wuri Handayani, Dian Diniyati, Eva Fauziyah, Aditya Hani, Tri Sulistyati W., Tuti Herawati. 2008. Hutan Rakyat Jawa Barat, Status Riset dan Strategi Pengembangannya. Balai Penelitian Kehutanan. Ciamis.

3.      Achmad B., Dian Diniyati, Soleh Mulyana, Eva Fauziyah, Suyarno, Darsono. 2009. Laporan Hasil Penelitian “ Kajian Kelembagaan Pengelolaan Hutan Rakyat”. Balai Penelitian Kehutanan. Ciamis.

4.      Achmad B., Soleh Mulyana, Triono Puspitodjati, Darsono, Nana Sutrisna. 2009. Laporan Hasil Penelitian “ Kajian Pemanfaatan dan Pemasaran Hasil Hutan Rakyat”. Balai Penelitian Kehutanan. Ciamis.

5.      Diniyati D., Eva Fauziyah, Tri Sulistyati W., Suyarno, Eyet Mulyati. 2010. Laporan Hasil Penelitian “ Pola Agroforestry di Hutan Rakyat Pengahasil Kayu Pertukangan Sengon”.  Balai Penelitian Kehutanan. Ciamis.

6.      Djajapertjunda S. 2003. Mengembangkan Hutan Milik di Jawa. Alqaprint Jatinangor. Sumedang.

7.      Suherman M., 2009. Kebijakan Pengamanan Kawasan dan Peredaran Hasil Hutan Di Jawa Barat. Dinas Kehutanan Prov. Jawa Barat. Bandung
    


PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT DI KAB. WONOSOBO (Studi Kasus di Desa Sukorejo Kec. Mojotengah)

Oleh : Suyarno


I. Pendahuluan
Kegiatan pengembangan hutan rakyat di Propinsi Jawa Tengah berdasarkan pendanaanya dapat digolongkan menjadi 3 macam yaitu hutan rakyat subsidi, hutan rakyat pola kemitraan dan hutan rakyat swadaya. Hutan rakyat subsidi adalah hutan rakyat yang dibangun pada tanah milik dengan biaya sebagian atau seluruhnya dari pemerintah, umumnya dikembangkan di daerah hulu DAS (Inpres Penghijauan, Rehabilitasi Hutan dan Lahan serta Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan/GNRHL). Hutan rakyat pola kemitraan adalah hutan rakyat yang dikembangkan oleh petani/kelompok tani hutan rakyat yang bekerja sama dengan industri pengolah kayu secara notariat yang difasilitasi oleh Pemerintah Propinsi maupun Kabupaten dan hutan rakyat swadaya adalah hutan rakyat yang dibangun oleh masyarakat mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pendanaannya oleh masyarakat sendiri, umumnya hutan rakyat dibangun oleh para petani yang mempunyai lahan yang cukup dan jenis tanaman yang diusahakan sudah berorientasi pada pasar.
Hutan rakyat di Kabupaten Wonosobo dirintis dan dikembangkan sejak tahun 1970 yang dapat dikatagorikan sebagai salah satu contoh hutan rakyat swadaya yang berhasil, dimana sampai dengan tahun 2001 sudah mencapai seluas 19.473 ha dengan potensi tegakan sebesar 827.639,93 m3 yang tersebar pada 13 kecamatan.
Dengan pengalamannya yang genap 35 tahun hutan rakyat di Kabupaten Wonosobo secara umum tetap stabil dan berkembang karena tingkat kesadaran masyarakatnya sudah tinggi dan sudah merasakan hasilnya karena umumnya pengelolaan hutan rakyatnya dilaksanakan secara tumpangsari dengan beranggapan bahwa tanaman kayu sebagai tabungan pada saat akhir daur. Pola tumpangsari juga menjadi pilihan guna mengatasi masalah sempitnya lahan garapan. Pola tumpangsari yang dilaksanakan di Kabupaten Wonosobo tidak hanya satu pola tetapi lebih bervariasi walaupun masih dalam satu hamparan. Jenis tanaman yang bervariasi pada pola tumpangsari dalam membangun hutan rakyat dilaksanakan salah satunya di Desa Sukorejo Kecamatan Mojotengah. Oleh karena itu pola yang dikembangkan di desa tersebut dapat dijadikan sebagai salah acuan untuk pengembangan hutan rakyat di daeah lain.

 II. Maksud dan Tujuan
Kegiatan penelitian dilaksanakan untuk mengetahui berbagai pola pengembangan hutan rakyat di Desa Sukorejo beserta analisa pendapatannya, sehingga dapat dijadikan sebagai sebagai salah satu bahan acuan bagi daerah yang lain dalam pengembangan hutan rakyat.

III. Metode Pengumpulan dan Analisa Data
Penentuan lokasi penelitian dilakukan dengan secara sengaja (purposive sampling) pada tingkat kecamatan dan desa, sedangkan pemilihan responden dilaksanakan pada key person dan dipilih secara bebas. 
Pengumpulan data primer dan sekunder dilaksanakan dengan cara sebagai berikut;
1.      Pengumpulan data primer, dengan cara;
a.       Teknik observasi
Data dikumpulkan dengan mengadakan pengamatan terhadap objek yang diteliti, baik pada rumah tangga petani maupun keadaan lapangan.
b.      Teknik wawancara
Data dikumpulkan dengan melakukan tanya jawab secara langsung terhadap petani responden atau petani pengelola hutan rakyat, pimpinan formal desa. Wawancara dilakukan dengan cara wawancara terstruktur maupun wawancara bebas. Wawancara terstruktur dilakukan dengan menggunakan daftar kuisioner yang telah disiapkan, sedangkan wawancara bebas dilakukan tanpa kuisioner mengenai hal-hal yang berhubungan dengan penelitian.
2.      Pengumpulan data sekunder yang mendukung penelitian dengan pengutipan dan pencatatan data dari kantor desa, kecamatan, instansi terkait dan BPS setempat.
Data primer hasil wawancara dilaksanakan analisa deskriptif dan hitungan pendapatan secara sederhana.
  
III. Keadaan Umum Lokasi
A. Kabupaten Wonosobo
Kabupaten Wonosobo terletak antara 7o 11’ dan 7o 36’ Ls dan 109o43’ dan 110o04’ BJ dengan ketinggian antara 270 -  2.250 m dpl dengan suhu udara berkisar antara 24 – 30o C pada siang hari dan 20o C pada malam hari. Secara administrasi Kabupaten Wonosobo  terbagi menjadi 14 kecamatan 36 desa dan 28 kelurahan.
Luas Kabupaten Wonosobo 98.467.965 ha yang terdiri dari 18.564,21 ha (18,9%) sawah dan 79.903,9 ha (81,1%) lahan kering.

Tabel 1, Lahan kering tersebut mempunyai potensi tegakan hutan rakyat sebagai berikut;
No
Kecamatan
Luas HR (ha)
Jml Tan
Potensi Tegakan
Ket


Th 2000
s/d 2001
(btg/ha)
M3/btg
M3/ha

1
Wonosobo
689
689
356
0,516
183,54

2
Leksono
2.600
2.600
481
0,185
88,98

3
Selomerto
970
970
370
0,381
141,13

4
Kertek
-
-
0
0
0

5
Kaliwiro
3.075
3.075
337
0,109
36,93

6
Wadaslintang
2.256
2.256
346
0,153
53,06

7
Sapuran
2.755
2.755
453
0,164
74,48

8
Kalikajar
1.198
1.198
354
0,295
104,60

9
Kepil
1.995
1.995
338
0,169
57,26

10
Garung
1.038
1.038
196
0,188
37,00

11
Kejajar
-
-
0
0
0

12
Mojotengah
1.695
1.695
338
0,199
67,40

13
Watumalang
1.202
1.202
243
0,202
49,12










Jumlah
19.473
19.473





B. Kecamatan Mojotengah (Desa Sukorejo)
Desa Sukorejo terletak pada ketinggian 800 – 900 m dpl dan jenis tanah andosol yang terbagi atas penggunaan lahanya menjadi;
- sawah                              ; 30 ha
- tanah darat/perkebunan  : 79 ha
- pekarangan                      ; 6,5 ha
- lain-lain                           ; 1,5 ha


 IV. Hasil dan Pembahasan
Dari hasil wawancara yang dilaksanakan terhadap key person dan responden terpilih pengelolaan hutan rakyat di Desa Sukorejo dapat dibagi dalam dua aspek yaitu aspek budidaya hutan rakyat dan analisa biaya pengusahaan hutan rakyat.
A. Budidaya Hutan Rakyat
1. Sejarah Pembangunan Hutan Rakyat di Desa Sukorejo
Sebelum tahun 1975 pola tani lahan kering di Desa Sukorejo sama dengan masyarakat Indonesia pada umumnya yaitu dengan membudidayakan tanaman palawija yang didominasi jenis singkong. Pola tanam tersebut sudah berjalan berpuluh-puluh tahun sehingga pada awal 1975 dirasakan dampaknya yaitu dengan banyaknya lahan yang kurang subur dan lahan yang rusak karena tanaman singkong merupakan tanaman yang rakus hara. Disamping itu dampak yang dirasakan berupa kurangnya bahan bangunan (mendatangkan dari daerah lain) dan sumber air sangat sulit (sumur kedalaman 15-20 m belum mendapat air).
Dengan kondisi tersebut tokoh masyarakat berinisiatif untuk menyuburkan tanah, menjamin kelangsungan air, menyiambangkan lingkungan    tidak ada pilihan lain selain tanaman kayu dan yang menjadi pilihan adalah albazia karena potensi yang pada waktu itu sebagai peninggalan generasi sebelumnya.
Pada awal pengembangannya bibit tanaman albazia berasal dari biji alami dan setelah lima tahun berjalan dimana hasilnya sudah dirasakan baik manfaat ekonomi maupun perubahan lingkungan, sehingga usaha tani hutan rakyat perkembang pesat. Berkembangnya hutan rakyat yang sangat pesat tersebut didengar oleh penyuluh sehingga dianjurkan dibentuk kelompok tani.

2.  Pengadaan Bibit Tanaman
Dari awal terbentuknya hutan rakyat dan sampai sekarang masyarakat Desa Sukorejo membudidayakan tanaman albazia  masih berasal dari tanaman yang tumbuh alami dari tanaman yang sudah ada, bahkan kelompok tani sudah mempunyai persemaian permanen yang mengexpor bibit sengon keluar daerah.
Semai yang tumbuh alami dipindahkan dan diatur sesuai dengan jarak tanam yang diinginkan. Pengaturan bibit yang tumbuh secara alami dalam membangun hutan rakyat secara umum juga dilaksanakan dan dikembangkan didaerah lain. Budidaya hutan rakyat dengan menggunakan bibit yang tumbuh alami mempunyai  kelebihan  diantaranya yaitu; 1). sudah sesuai/cocok dengan agroklimat setempat, sehingga faktor tumbuhnya tinggi, dan 2). tahan uji karena sudah terbukti dari pohon induknya, 3). efisien dalam pekerjaannya karena faktor pembelian bibit tidak ada dan faktor bibit lebih dekat ke tempat penanaman.

3. Pola Tanam
Pelaksanaan penanaman kayu yang genap 30 tahun sudah dilaksanakan dan dipraktekan berbagai pola dan tehnik dalam pengembangan hutan rakyat oleh masyarakat Desa Sukorejo. Pada akhirnya secara umum pengelolaan hutan rakyat dikembangkan dengan pola tumpangsari yang dapat dikelompokan menjadi 4 (empat) pola yaitu;
1.Tanaman kayu dengan tanaman kopi.
2.Tanaman kayu dengan tanaman singkong.
3.Tanaman kayu dengan kapulaga.
4.Tanaman kayu, kopi dan kapulaga.
Dari empat pola tanam tumpangsari tersebut jenis tanaman bawahnya dibudidayakan sampai akhir daur tanaman kayu kecuali singkong yang hanya sampai umur 2 tahun untuk tanaman kayunya. Dari keempat pola yang dibudidayakan di Desa Sukorejo didominasi oleh pola tanam; tanaman kayu (jarak tanaman rata-rata 2 x 3 m) dengan tanaman kopi (jarak tanam rata-rata 1 x1 m ).   

4. Pemeliharaan
Secara umum masyarakat di Desa Sukorejo kegiatan pemeliharaan terhadap tanaman kayu-kayaun dilakukan bersamaan dengan tanaman tumpangsarinya mulai dari pembersihan lahan, pembersihan cabang dan pemupukan. Dari hasil wawancara diperoleh data bahwa secara umum serangan hama penyakit terhadap tanaman kayu-kayuan dapat diminimalisir karena pola tanam yang bervariasi.

5. Pamenan dan Pemasaran.
Kondisi hutan rakyat yang cukup potensial dan dalam jumlah yang besar maka banyak pengusaha yang mendirikan industri penggergajian kayu di Desa Sukorejo. Kondisi ini mempermudah dan memperlancar petani dalam penjualan kayu dari hutan rakyat. Namun sayangnya secara umum masyarakat masih mejual kayu dalam bentuk kayu berdiri dan dengan sistem borongan, karena penjualan kayu dilaksanakan dalam jumlah kayu yang relatif sedikit yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya pada saat itu (contohnya untuk biaya sekolah dll).

B. Pendapatan Usahatani Hutan Rakyat
Pendapatan terhadap pengelolaan hutan rakyat di Desa Sukorejo Kecamatan Mojotengah dihitung dalam dua tahap yaitu penghitungan pendapatan per jenis tanaman dan pendapatan pola tumpangsari (gabungan dari pendapatan per jenis tanaman).

1. Pendapatan usahatani hutan rakyat per jenis komoditi.
1. Pendapatan Komoditi Tanaman Kayu
Tanaman kayu yang dominan dibudidayakan oleh masyarakat di Desa Sukorejo adalah jenis albisia dengan jarak tanam rata-rata 3 x 4 m.
Potensi tegakan Berdasarkan hasil pengukuran terhadap sampel tegakan albasia sebanyak 12 pohon albazia umur 5 tahun yang dipilih secara bebas hasilnya sebagai berikut;
Tabel 2, Potensi Tegakan
No
Lingkaran Batang
(cm)
Diameter
(m)
Tinggi
(m)
Volume
(m3)
Volume
(F. bentuk 0,7)
1
63
0,20
17
0,53
0,38
2
57
0,18
17
0,43
0,30
3
47
0,15
15
0,27
0,19
4
51
0,16
15
0,30
0,21
5
54
0,17
16
0,36
0,25
6
59
0,19
16
0,45
0,32
7
63
0,20
17
0,53
0,37
8
69
0,22
17
0,65
0,46
9
44
0,14
14
0,22
0,15
10
57
0,18
14
0,36
0,25
11
58
0,18
15
0,38
0,27
12
42
0,13
13
0,17
0,12







Jumlah
2,10
186
4,65
3,26

Rata-rata
0,18
15,5
0,39
0,27

Dengan data tersebut maka akan diperoleh perkiraan pendapatan yang akan dihasilkan dari tegakan albasia yaitu
- Jarak tanam rata-rata             : 3 x 4 m
            - Potensi tegakan                     : 830 btg/ha
            - Volume 1 pohon umur 5 th   : 0,27 m3
            - Volume tegakan total           : 830 x 0,27 = 226,59 m3/ha
            - Pendapatan (harga asumsi di pemborong 80.000,-/m3 tegakan berdiri)
                                                            : 226,59 x 80.000,-/5  = Rp. 3.624.440,-/ha/th
2. Tanaman kapulaga
Tanaman kapulaga sebagai tanaman bawah yang dibudayakan sampai masa tebang untuk tanaman kayu.
Adapun pendapatan yang diperoleh dari komoditi kapulaga yaitu;
- Periode panen per 40 hari sekali (± 8 kali/th)
- Sekali panen rata-rata : 80 kg/ha
- Volume panen 80 x 8 : 640 kg
- Pendapatan 640 kg x Rp. 5000,- : Rp. 3.200.000,-/th

3. Palawija (singkong).
Di Desa Sukorejo Kecamatan Mojotengah Kab. Wonosobo dalam satu hamparan pengelolaan hutan rakyat potret variasi jenis tanaman sangat jelas karena posisi hutan rakyat yang berdampingan. Kondisi ini terjadi karena pada satu hamparan kebun terdiri dari banyak pemilik lahan, sehingga berdampak pada variasi jenis tanaman. Variasi jenis tanaman tersebut salah satunya masih banyak petani yang membudidayakan komoditi palawija berupa tanaman singkong, meskipun dari aspek konservasi terhadap kesuburan tanah kurang mendukung.
Pendapatan dari komoditi singkong sebagai berikut;
- Panen sekali dalam setahun
- Hasil rata-rata : 3.600 kg/ha/th
- Hasil : 3.600 kg x Rp. 250,- : Rp. 900.000,-/th

4. Kopi
Pengalaman usahatani hutan rakyat yang cukup lama memperkaya pengetahuan dan pengalaman dalam memilih dan membudidayakan komoditi tanaman sebagai tanaman pengisi pada pengelolaan hutan rakyat yang didominasi jenis albasia. Komoditi kopi memdominasi jenis tanaman yang dibudidayakan oleh petani, karena beberapa hal; pasar yang sudah jelas, harga yang stabil, tehnologi budidayanya sudah terkuasai, dan dari aspek konservasi sangat mendukung terhadap kelestarian lingkungan. Komoditi kopi sebagai strata kedua dibawah sengon sangat dominan dibudidayakan oleh masyarakat di Desa Sukerejo.
Perkiraan pendapatan yang dapat diperoleh dari tanaman kopi sebagai berikut;
- Panen pertama pada saat tanaman kopi berumur 3 th.
- Hasil panen perdana : 600 kg/ha/th
- Hasil yang diperoleh :  600 kg x Rp. 5.500,- : Rp. 3.300.000,-
- Pendapatan per tahun : 3.300.000/3 : 1.100.000,-/ha/th
Pendapatan tersebut dihitung dari panen perdana setelah tahun ke-3, pada kenyataannya hasil panen kopi mempunyai grafik naik, yaitu semakin tambah usia tanaman kopi akan memperoleh hasil panen yang meningkat.

2. Pendapatan hasil pola tumpangsari
Pendatan hasil dari pola tumpangsari dihitung dengan menggabungkan pendapatan dari komoditi tiap jenis tanaman. Secara umum di Desa Sukeroje Kec. Mojotengah budidaya  hutan rakyat dapat dikelompokan menjadi 4 pola yaitu;
1.      Tanaman kayu dengan tanaman kopi.
2.      Tanaman kayu dengan tanaman singkong.
3.      Tanaman kayu dengan kapulaga.
4.      Tanaman kayu, kopi dan kapulaga.
Berbagai pola tersebut memberikan hasil yang berbeda-beda tergantung dari komoditi yang dubudidayakannya. Hasil masing-masing pola budidaya hutan rakyat di Desa Sukorejo sebagai berikut;
  1. Tanaman kayu dengan tanaman kopi
- Hasil tanaman kayu              : Rp. 3.624.440,-/ha/th
- Hasil tanaman kopi               : Rp. 1.100.000/ha/th
Dalam luasan 1 ha budidaya hutan rakyat pola tanaman kayu ditumpangsarikan dengan tanaman kopi menghasilkan : Rp. 4.724.440,-/ha/th.
  1. Tanaman kayu dengan singkong
- Hasil tanaman kayu              : Rp. 3.624.440,-/ha/th
- Hasil tanaman singkong        : Rp.    900.000,-/ha/th
Dalam luasan 1 ha budidaya hutan rakyat pola tanaman kayu ditumpangsarikan dengan tanaman singkong menghasilkan : Rp. 4.524.440,-/ha/th.

3. Tanaman kayu dengan kapulaga
- Hasil tanaman kayu              : Rp. 3.624.440,-/ha/th
- Hasil tanaman kapulaga        : Rp. 3.200.000,-/ha/th
Dalam luasan 1 ha budidaya hutan rakyat pola tanaman kayu ditumpangsarikan dengan tanaman kapulaga menghasilkan : Rp. 6.824.440,-/ha/th.
4.Tanaman kayu, kopi dan kapulaga
- Hasil tanaman kayu              : Rp. 3.624.440,-/ha/th
- Hasil tanaman kapulaga        : Rp. 3.200.000,-/ha/th
- Hasil tanaman kopi               : Rp. 1.100.000/ha/th
Dalam luasan 1 ha budidaya hutan rakyat pola tanaman kayu ditumpangsarikan dengan tanaman kapulaga dan kopi menghasilkan : Rp. 7.924.440,- /ha/th.
Dari analisa sederhana terhadap pendapatan yang diperoleh dari budidaya hutan rakyat pada 4 pola tersebut nampak jelas bahwa pola tiga jenis tanaman yaitu tanaman kayu, kopi dan kapulaga memberikan kontribusi hasil yang paling besar yaitu Rp. 7.924.440,-/ha/th. Hasil yang besar ini lebih disebabkan oleh banyaknya komoditi yang dibudidayakan sehingga masing-masing komoditi memberikan kontribusi terhadap total hasil akhir pada suatu pola budidaya hutan rakyat.
Pola budidaya hutan rakyat jika dipisahkan berdasarkan jumlah komoditinya yaitu hanya 2 komoditi maka kontribusi pola tanaman kayu dengan kapulaga memberikan hasil terbesar yaitu Rp. 6.824.440,-/ha/th. Hasil yang besar ini diperoleh karena komoditi kapulaga dalam periode 1 tahun dapat dilakukan  kegiatan pemanenan beberapakali (8 kali panen per tahun). Komoditi tanaman kayu dan singkong memberikan hasil paling kecil setelah pola tanaman kayu dengan kopi, karena singkong disamping hanya panen 1 kali dalam setahun juga harga singkong sangat minim sekali.
Komoditi tanaman kayu dan kapulaga memberikan hasil lebih besar jika dibandingkan dengan komoditi tanaman kayu dengan kopi tetapi secara umum masyarakat ada kecenderungan lebih banyak memilih pola tanaman kayu dan kopi karena faktor kegiatan pemeliharaan yang mudah dilaksanakan, kepastian pasar dan aspek nilai konservasi terhadap penyerapan air.

 IV. Kesimpulan
Hutan rakyat di Desa Sukorejo Kecamatan Mojotengah Kab. Wonosobo merupakan hutan rakyat swadaya yang telah dibudidayakan sejak lama. Pengetahuan dan pengalaman budidaya hutan rakyat yang sudah berjalan cukup lama memberikan dampak terhadap pola budidaya hutan rakyat yaitu munculnya keragaman jenis tanaman pengisi terhadap tanaman pokok yang didominasi oleh albasia. Variasi tanaman pengisi itu dapat dikelompokan menjadi 4 pola yaitu; 1). Pola tanaman kayu, kapulaga, 2) tanaman kayu kopi, 3) tanaman kayu singkong dan 4) tanaman kayu, kopi dan kapulaga.
Dari 4 pola itu kontribusi terbesar terhadap pendapatan petani diperoleh dari pola tanaman kayu, kopi dan kapulaga sebesar Rp. 7.924.440,-/ha/th dan terendah dari pola tanaman kayu singkong yang memberikan hasil sebesar Rp. 4.524.440,-/ha/th.