Oleh : Suyarno
I. Pendahuluan
Kegiatan pengembangan hutan rakyat di Propinsi
Jawa Tengah berdasarkan pendanaanya dapat digolongkan menjadi 3 macam yaitu hutan
rakyat subsidi, hutan rakyat pola kemitraan dan hutan rakyat swadaya. Hutan
rakyat subsidi adalah hutan rakyat yang dibangun pada tanah milik dengan biaya
sebagian atau seluruhnya dari pemerintah, umumnya dikembangkan di daerah hulu
DAS (Inpres Penghijauan, Rehabilitasi Hutan dan Lahan serta Gerakan Nasional
Rehabilitasi Hutan dan Lahan/GNRHL). Hutan rakyat pola kemitraan adalah hutan
rakyat yang dikembangkan oleh petani/kelompok tani hutan rakyat yang bekerja
sama dengan industri pengolah kayu secara notariat yang difasilitasi oleh
Pemerintah Propinsi maupun Kabupaten dan hutan rakyat swadaya adalah hutan
rakyat yang dibangun oleh masyarakat mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan
pendanaannya oleh masyarakat sendiri, umumnya hutan rakyat dibangun oleh para
petani yang mempunyai lahan yang cukup dan jenis tanaman yang diusahakan sudah
berorientasi pada pasar.
Hutan rakyat di
Kabupaten Wonosobo dirintis dan dikembangkan sejak tahun 1970 yang dapat
dikatagorikan sebagai salah satu contoh hutan rakyat swadaya yang berhasil,
dimana sampai dengan tahun 2001 sudah mencapai seluas 19.473 ha dengan potensi
tegakan sebesar 827.639,93 m3 yang tersebar pada 13 kecamatan.
Dengan
pengalamannya yang genap 35 tahun hutan rakyat di Kabupaten Wonosobo secara
umum tetap stabil dan berkembang karena tingkat kesadaran masyarakatnya sudah
tinggi dan sudah merasakan hasilnya karena umumnya pengelolaan hutan rakyatnya
dilaksanakan secara tumpangsari dengan beranggapan bahwa tanaman kayu sebagai
tabungan pada saat akhir daur. Pola tumpangsari juga menjadi pilihan guna
mengatasi masalah sempitnya lahan garapan. Pola tumpangsari yang dilaksanakan
di Kabupaten Wonosobo tidak hanya satu pola tetapi lebih bervariasi walaupun
masih dalam satu hamparan. Jenis tanaman yang bervariasi pada pola tumpangsari
dalam membangun hutan rakyat dilaksanakan salah satunya di Desa Sukorejo
Kecamatan Mojotengah. Oleh karena itu pola yang dikembangkan di desa tersebut
dapat dijadikan sebagai salah acuan untuk pengembangan hutan rakyat di daeah
lain.
II. Maksud
dan Tujuan
Kegiatan
penelitian dilaksanakan untuk mengetahui berbagai pola pengembangan hutan
rakyat di Desa Sukorejo beserta analisa pendapatannya, sehingga dapat dijadikan
sebagai sebagai salah satu bahan acuan bagi daerah yang lain dalam pengembangan
hutan rakyat.
III. Metode Pengumpulan dan
Analisa Data
Penentuan lokasi penelitian dilakukan dengan secara
sengaja (purposive sampling) pada
tingkat kecamatan dan desa, sedangkan pemilihan responden dilaksanakan pada key person dan dipilih secara bebas.
Pengumpulan data primer dan sekunder dilaksanakan
dengan cara sebagai berikut;
1. Pengumpulan data primer, dengan cara;
a.
Teknik observasi
Data dikumpulkan dengan mengadakan pengamatan
terhadap objek yang diteliti, baik pada rumah tangga petani maupun keadaan
lapangan.
b.
Teknik wawancara
Data dikumpulkan dengan melakukan tanya jawab
secara langsung terhadap petani responden atau petani pengelola hutan rakyat,
pimpinan formal desa. Wawancara dilakukan dengan cara wawancara terstruktur
maupun wawancara bebas. Wawancara terstruktur dilakukan dengan menggunakan
daftar kuisioner yang telah disiapkan, sedangkan wawancara bebas dilakukan
tanpa kuisioner mengenai hal-hal yang berhubungan dengan penelitian.
2.
Pengumpulan data sekunder yang mendukung penelitian
dengan pengutipan dan pencatatan data dari kantor desa, kecamatan, instansi
terkait dan BPS setempat.
Data
primer hasil wawancara dilaksanakan analisa deskriptif dan hitungan pendapatan
secara sederhana.
III. Keadaan Umum Lokasi
A. Kabupaten Wonosobo
Kabupaten Wonosobo terletak antara 7o 11’
dan 7o 36’ Ls dan 109o43’ dan 110o04’ BJ
dengan ketinggian antara 270 - 2.250 m
dpl dengan suhu udara berkisar antara 24 – 30o C pada siang hari dan
20o C pada malam hari. Secara administrasi Kabupaten Wonosobo
terbagi menjadi 14 kecamatan 36 desa dan
28 kelurahan.
Luas Kabupaten
Wonosobo 98.467.965 ha yang terdiri dari 18.564,21 ha (18,9%) sawah dan
79.903,9 ha (81,1%) lahan kering.
Tabel 1, Lahan kering tersebut mempunyai potensi tegakan
hutan rakyat sebagai berikut;
No
|
Kecamatan
|
Luas HR (ha)
|
Jml Tan
|
Potensi Tegakan
|
Ket
|
||
Th 2000
|
s/d 2001
|
(btg/ha)
|
M3/btg
|
M3/ha
|
|||
1
|
Wonosobo
|
689
|
689
|
356
|
0,516
|
183,54
|
|
2
|
Leksono
|
2.600
|
2.600
|
481
|
0,185
|
88,98
|
|
3
|
Selomerto
|
970
|
970
|
370
|
0,381
|
141,13
|
|
4
|
Kertek
|
-
|
-
|
0
|
0
|
0
|
|
5
|
Kaliwiro
|
3.075
|
3.075
|
337
|
0,109
|
36,93
|
|
6
|
Wadaslintang
|
2.256
|
2.256
|
346
|
0,153
|
53,06
|
|
7
|
Sapuran
|
2.755
|
2.755
|
453
|
0,164
|
74,48
|
|
8
|
Kalikajar
|
1.198
|
1.198
|
354
|
0,295
|
104,60
|
|
9
|
Kepil
|
1.995
|
1.995
|
338
|
0,169
|
57,26
|
|
10
|
Garung
|
1.038
|
1.038
|
196
|
0,188
|
37,00
|
|
11
|
Kejajar
|
-
|
-
|
0
|
0
|
0
|
|
12
|
Mojotengah
|
1.695
|
1.695
|
338
|
0,199
|
67,40
|
|
13
|
Watumalang
|
1.202
|
1.202
|
243
|
0,202
|
49,12
|
|
Jumlah
|
19.473
|
19.473
|
B. Kecamatan Mojotengah
(Desa Sukorejo)
Desa Sukorejo terletak pada ketinggian 800 – 900 m
dpl dan jenis tanah andosol yang terbagi atas penggunaan lahanya menjadi;
- sawah ;
30 ha
- tanah darat/perkebunan : 79 ha
- pekarangan ; 6,5 ha
- lain-lain ;
1,5 ha
IV. Hasil dan Pembahasan
Dari hasil wawancara yang dilaksanakan terhadap key person dan responden terpilih
pengelolaan hutan rakyat di Desa Sukorejo dapat dibagi dalam dua aspek yaitu
aspek budidaya hutan rakyat dan analisa biaya pengusahaan hutan rakyat.
A. Budidaya Hutan Rakyat
1. Sejarah Pembangunan Hutan Rakyat di Desa
Sukorejo
Sebelum tahun 1975 pola tani
lahan kering di Desa Sukorejo sama dengan masyarakat Indonesia pada umumnya yaitu dengan
membudidayakan tanaman palawija yang didominasi jenis singkong. Pola tanam
tersebut sudah berjalan berpuluh-puluh tahun sehingga pada awal 1975 dirasakan
dampaknya yaitu dengan banyaknya lahan yang kurang subur dan lahan yang rusak
karena tanaman singkong merupakan tanaman yang rakus hara. Disamping itu dampak
yang dirasakan berupa kurangnya bahan bangunan (mendatangkan dari daerah lain)
dan sumber air sangat sulit (sumur kedalaman 15-20 m belum mendapat air).
Dengan kondisi tersebut tokoh masyarakat berinisiatif untuk menyuburkan
tanah, menjamin kelangsungan air, menyiambangkan lingkungan tidak
ada pilihan lain selain tanaman kayu dan yang menjadi pilihan adalah albazia
karena potensi yang pada waktu itu sebagai peninggalan generasi sebelumnya.
Pada awal pengembangannya bibit tanaman albazia berasal dari biji alami
dan setelah lima
tahun berjalan dimana hasilnya sudah dirasakan baik manfaat ekonomi maupun
perubahan lingkungan, sehingga usaha tani hutan rakyat perkembang pesat.
Berkembangnya hutan rakyat yang sangat pesat tersebut didengar oleh penyuluh
sehingga dianjurkan dibentuk kelompok tani.
2. Pengadaan Bibit Tanaman
Dari awal terbentuknya hutan rakyat dan sampai sekarang masyarakat Desa
Sukorejo membudidayakan tanaman albazia
masih berasal dari tanaman yang tumbuh alami dari tanaman yang sudah
ada, bahkan kelompok tani sudah mempunyai persemaian permanen yang mengexpor
bibit sengon keluar daerah.
Semai yang tumbuh alami dipindahkan dan diatur sesuai dengan jarak tanam
yang diinginkan. Pengaturan bibit yang tumbuh secara alami dalam membangun
hutan rakyat secara umum juga dilaksanakan dan dikembangkan didaerah lain. Budidaya
hutan rakyat dengan menggunakan bibit yang tumbuh alami mempunyai kelebihan
diantaranya yaitu; 1). sudah sesuai/cocok dengan agroklimat setempat,
sehingga faktor tumbuhnya tinggi, dan 2). tahan uji karena sudah terbukti dari
pohon induknya, 3). efisien dalam pekerjaannya karena faktor pembelian bibit
tidak ada dan faktor bibit lebih dekat ke tempat penanaman.
3. Pola Tanam
Pelaksanaan penanaman kayu yang genap 30 tahun sudah dilaksanakan dan
dipraktekan berbagai pola dan tehnik dalam pengembangan hutan rakyat oleh
masyarakat Desa Sukorejo. Pada akhirnya secara umum pengelolaan hutan rakyat
dikembangkan dengan pola tumpangsari yang dapat dikelompokan menjadi 4 (empat)
pola yaitu;
1.Tanaman kayu dengan tanaman kopi.
2.Tanaman kayu dengan tanaman singkong.
3.Tanaman kayu dengan kapulaga.
4.Tanaman kayu, kopi dan kapulaga.
Dari empat pola tanam tumpangsari tersebut jenis tanaman
bawahnya dibudidayakan sampai akhir daur tanaman kayu kecuali singkong yang
hanya sampai umur 2 tahun untuk tanaman kayunya. Dari keempat pola yang
dibudidayakan di Desa Sukorejo didominasi oleh pola tanam; tanaman kayu (jarak
tanaman rata-rata 2 x 3 m) dengan tanaman kopi (jarak tanam rata-rata 1 x1 m
).
4. Pemeliharaan
Secara umum masyarakat di Desa Sukorejo kegiatan pemeliharaan terhadap
tanaman kayu-kayaun dilakukan bersamaan dengan tanaman tumpangsarinya mulai
dari pembersihan lahan, pembersihan cabang dan pemupukan. Dari hasil wawancara
diperoleh data bahwa secara umum serangan hama
penyakit terhadap tanaman kayu-kayuan dapat diminimalisir karena pola tanam
yang bervariasi.
5. Pamenan dan Pemasaran.
Kondisi hutan rakyat yang cukup potensial dan dalam jumlah yang besar
maka banyak pengusaha yang mendirikan industri penggergajian kayu di Desa
Sukorejo. Kondisi ini mempermudah dan memperlancar petani dalam penjualan kayu
dari hutan rakyat. Namun sayangnya secara umum masyarakat masih mejual kayu
dalam bentuk kayu berdiri dan dengan sistem borongan, karena penjualan kayu
dilaksanakan dalam jumlah kayu yang relatif sedikit yang cukup untuk memenuhi
kebutuhannya pada saat itu (contohnya untuk biaya sekolah dll).
B. Pendapatan Usahatani Hutan Rakyat
Pendapatan terhadap pengelolaan hutan rakyat di
Desa Sukorejo Kecamatan Mojotengah dihitung dalam dua tahap yaitu penghitungan
pendapatan per jenis tanaman dan pendapatan pola tumpangsari (gabungan dari pendapatan
per jenis tanaman).
1. Pendapatan usahatani hutan rakyat per jenis
komoditi.
1. Pendapatan Komoditi Tanaman
Kayu
Tanaman kayu yang dominan
dibudidayakan oleh masyarakat di Desa Sukorejo adalah jenis albisia dengan
jarak tanam rata-rata 3 x 4 m.
Potensi tegakan Berdasarkan
hasil pengukuran terhadap sampel tegakan albasia sebanyak 12 pohon albazia umur
5 tahun yang dipilih secara bebas hasilnya sebagai berikut;
Tabel 2, Potensi Tegakan
No
|
Lingkaran Batang
(cm)
|
Diameter
(m)
|
Tinggi
(m)
|
Volume
(m3)
|
Volume
(F. bentuk 0,7)
|
1
|
63
|
0,20
|
17
|
0,53
|
0,38
|
2
|
57
|
0,18
|
17
|
0,43
|
0,30
|
3
|
47
|
0,15
|
15
|
0,27
|
0,19
|
4
|
51
|
0,16
|
15
|
0,30
|
0,21
|
5
|
54
|
0,17
|
16
|
0,36
|
0,25
|
6
|
59
|
0,19
|
16
|
0,45
|
0,32
|
7
|
63
|
0,20
|
17
|
0,53
|
0,37
|
8
|
69
|
0,22
|
17
|
0,65
|
0,46
|
9
|
44
|
0,14
|
14
|
0,22
|
0,15
|
10
|
57
|
0,18
|
14
|
0,36
|
0,25
|
11
|
58
|
0,18
|
15
|
0,38
|
0,27
|
12
|
42
|
0,13
|
13
|
0,17
|
0,12
|
Jumlah
|
2,10
|
186
|
4,65
|
3,26
|
|
Rata-rata
|
0,18
|
15,5
|
0,39
|
0,27
|
Dengan data tersebut maka akan
diperoleh perkiraan pendapatan yang akan dihasilkan dari tegakan albasia yaitu
- Jarak tanam rata-rata :
3 x 4 m
-
Potensi tegakan : 830
btg/ha
-
Volume 1 pohon umur 5 th : 0,27 m3
- Volume tegakan total : 830 x 0,27 = 226,59 m3/ha
- Pendapatan (harga asumsi di pemborong 80.000,-/m3
tegakan berdiri)
: 226,59 x 80.000,-/5 = Rp. 3.624.440,-/ha/th
2. Tanaman kapulaga
Tanaman kapulaga sebagai
tanaman bawah yang dibudayakan sampai masa tebang untuk tanaman kayu.
Adapun pendapatan yang diperoleh dari komoditi
kapulaga yaitu;
- Periode panen per 40 hari
sekali (± 8 kali/th)
- Sekali panen rata-rata : 80 kg/ha
- Volume panen 80 x 8 : 640 kg
- Pendapatan 640 kg x Rp. 5000,- :
Rp. 3.200.000,-/th
3. Palawija (singkong).
Di Desa Sukorejo Kecamatan
Mojotengah Kab. Wonosobo dalam satu hamparan pengelolaan hutan rakyat potret
variasi jenis tanaman sangat jelas karena posisi hutan rakyat yang
berdampingan. Kondisi ini terjadi karena pada satu hamparan kebun terdiri dari
banyak pemilik lahan, sehingga berdampak pada variasi jenis tanaman. Variasi
jenis tanaman tersebut salah satunya masih banyak petani yang membudidayakan
komoditi palawija berupa tanaman singkong, meskipun dari aspek konservasi
terhadap kesuburan tanah kurang mendukung.
Pendapatan dari komoditi singkong sebagai berikut;
- Panen sekali dalam setahun
- Hasil rata-rata : 3.600 kg/ha/th
- Hasil : 3.600 kg x Rp. 250,- : Rp.
900.000,-/th
4. Kopi
Pengalaman usahatani hutan
rakyat yang cukup lama memperkaya pengetahuan dan pengalaman dalam memilih dan
membudidayakan komoditi tanaman sebagai tanaman pengisi pada pengelolaan hutan
rakyat yang didominasi jenis albasia. Komoditi kopi memdominasi jenis tanaman
yang dibudidayakan oleh petani, karena beberapa hal; pasar yang sudah jelas,
harga yang stabil, tehnologi budidayanya sudah terkuasai, dan dari aspek
konservasi sangat mendukung terhadap kelestarian lingkungan. Komoditi kopi
sebagai strata kedua dibawah sengon sangat dominan dibudidayakan oleh
masyarakat di Desa Sukerejo.
Perkiraan pendapatan yang
dapat diperoleh dari tanaman kopi sebagai berikut;
- Panen pertama pada saat
tanaman kopi berumur 3 th.
- Hasil panen perdana : 600
kg/ha/th
- Hasil yang diperoleh : 600 kg x Rp. 5.500,- : Rp. 3.300.000,-
- Pendapatan per tahun :
3.300.000/3 : 1.100.000,-/ha/th
Pendapatan tersebut dihitung
dari panen perdana setelah tahun ke-3, pada kenyataannya hasil panen kopi
mempunyai grafik naik, yaitu semakin tambah usia tanaman kopi akan memperoleh
hasil panen yang meningkat.
2. Pendapatan hasil pola tumpangsari
Pendatan hasil dari pola
tumpangsari dihitung dengan menggabungkan pendapatan dari komoditi tiap jenis
tanaman. Secara umum di Desa Sukeroje Kec. Mojotengah budidaya hutan rakyat dapat dikelompokan menjadi 4
pola yaitu;
1.
Tanaman kayu dengan tanaman kopi.
2. Tanaman kayu dengan tanaman singkong.
3.
Tanaman kayu dengan kapulaga.
4.
Tanaman kayu, kopi dan kapulaga.
Berbagai pola
tersebut memberikan hasil yang berbeda-beda tergantung dari komoditi yang
dubudidayakannya. Hasil masing-masing pola budidaya hutan rakyat di Desa
Sukorejo sebagai berikut;
- Tanaman
kayu dengan tanaman kopi
- Hasil tanaman kayu : Rp.
3.624.440,-/ha/th
- Hasil tanaman kopi : Rp. 1.100.000/ha/th
Dalam luasan 1 ha budidaya hutan rakyat pola
tanaman kayu ditumpangsarikan dengan tanaman kopi menghasilkan : Rp. 4.724.440,-/ha/th.
- Tanaman
kayu dengan singkong
- Hasil tanaman kayu : Rp.
3.624.440,-/ha/th
- Hasil tanaman singkong : Rp. 900.000,-/ha/th
Dalam luasan 1 ha budidaya hutan rakyat pola
tanaman kayu ditumpangsarikan dengan tanaman singkong menghasilkan : Rp.
4.524.440,-/ha/th.
3. Tanaman kayu dengan kapulaga
- Hasil tanaman kayu : Rp. 3.624.440,-/ha/th
- Hasil tanaman kapulaga : Rp. 3.200.000,-/ha/th
Dalam luasan 1 ha budidaya hutan rakyat pola
tanaman kayu ditumpangsarikan dengan tanaman kapulaga menghasilkan : Rp.
6.824.440,-/ha/th.
4.Tanaman kayu, kopi dan kapulaga
- Hasil tanaman kayu : Rp.
3.624.440,-/ha/th
- Hasil tanaman kapulaga : Rp. 3.200.000,-/ha/th
- Hasil tanaman kopi : Rp. 1.100.000/ha/th
Dalam luasan 1 ha budidaya hutan rakyat pola
tanaman kayu ditumpangsarikan dengan tanaman kapulaga dan kopi menghasilkan :
Rp. 7.924.440,- /ha/th.
Dari analisa sederhana
terhadap pendapatan yang diperoleh dari budidaya hutan rakyat pada 4 pola
tersebut nampak jelas bahwa pola tiga jenis tanaman yaitu tanaman kayu, kopi
dan kapulaga memberikan kontribusi hasil yang paling besar yaitu Rp. 7.924.440,-/ha/th.
Hasil yang besar ini lebih disebabkan oleh banyaknya komoditi yang
dibudidayakan sehingga masing-masing komoditi memberikan kontribusi terhadap
total hasil akhir pada suatu pola budidaya hutan rakyat.
Pola budidaya hutan rakyat
jika dipisahkan berdasarkan jumlah komoditinya yaitu hanya 2 komoditi maka
kontribusi pola tanaman kayu dengan kapulaga memberikan hasil terbesar yaitu
Rp. 6.824.440,-/ha/th. Hasil yang besar ini diperoleh karena komoditi kapulaga
dalam periode 1 tahun dapat dilakukan kegiatan pemanenan beberapakali (8 kali panen
per tahun). Komoditi tanaman kayu dan singkong memberikan hasil paling kecil
setelah pola tanaman kayu dengan kopi, karena singkong disamping hanya panen 1
kali dalam setahun juga harga singkong sangat minim sekali.
Komoditi tanaman kayu dan
kapulaga memberikan hasil lebih besar jika dibandingkan dengan komoditi tanaman
kayu dengan kopi tetapi secara umum masyarakat ada kecenderungan lebih banyak
memilih pola tanaman kayu dan kopi karena faktor kegiatan pemeliharaan yang
mudah dilaksanakan, kepastian pasar dan aspek nilai konservasi terhadap
penyerapan air.
IV. Kesimpulan
Hutan rakyat di Desa Sukorejo Kecamatan Mojotengah
Kab. Wonosobo merupakan hutan rakyat swadaya yang telah dibudidayakan sejak
lama. Pengetahuan dan pengalaman budidaya hutan rakyat yang sudah berjalan
cukup lama memberikan dampak terhadap pola budidaya hutan rakyat yaitu
munculnya keragaman jenis tanaman pengisi terhadap tanaman pokok yang
didominasi oleh albasia. Variasi tanaman pengisi itu dapat dikelompokan menjadi
4 pola yaitu; 1). Pola tanaman kayu, kapulaga, 2) tanaman kayu kopi, 3) tanaman
kayu singkong dan 4) tanaman kayu, kopi dan kapulaga.
Dari 4 pola itu kontribusi terbesar terhadap
pendapatan petani diperoleh dari pola tanaman kayu, kopi dan kapulaga sebesar
Rp. 7.924.440,-/ha/th dan terendah dari pola tanaman kayu singkong yang
memberikan hasil sebesar Rp. 4.524.440,-/ha/th.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar